Ahmad Nurjihadi (Pembelajar Fiqh Siyasah UIN Mataram) |
Politik telah menjadi entitas yang sangat dekat dengan kehidupan dan keseharian individu, komunitas, kelompok dan masyarakat di sebuah Negara termasuk lingkup NTB. Di titik ini, semakin banyak juga orang menyadari bahwa politik memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan terutama kehidupan sosial politik karena pada kenyataannya disadari atau tidak politik selalu memberi pengaruh terhadap kehidupan eksistensi kemanusiaan apakah itu dalam menjalankan hakikatnya sebagai individu ataupun ketika proses interaksi dan relasi dalam kehidupan sosial publik politik kemasyarakatan itu berlangsung.
Politik secara definitif sekurang-kurangnya terbangun dalam lima pandangan. Pertama, politik merupakan ikhtiar atau usaha-usaha yang ditempuh warga Negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik adalah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. (Ramlan Surbakti, 2007). Sedangkan Siyasah (Politik Islam) merupakan postulat hal-ihwal, seluk-beluk pengaturan urusan umat dan negara dengan segala konstruksi hukum dan regulasi, kebijakan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang amanah yang sejalan dengan dasar-dasar syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat. (Muhammad Fathi Bahatsi, tt), (Abu Hasan al-Mawardi,1973).
Pola interaksi antara pemerintah dan masyarakat (Government and Society) di antara lembaga-lembaga pemerintah dan antara kelompok dengan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada prinsipnya tidak terlepas dari etika dan ajaran agama. Di tengah masyarakat, individu berprilaku dan berinteraksi dalam membangun laku pribadi dan laku sosial. Sebagian dari laku individual dan sosial adalah laku politik yaitu prilaku yang bersangkut-jalin dengan proses politik di semua level pemerintahan.
Politik Islam (Siyasah) secara ontologis sangat mengedepankan etika, karena etika merupakan entitas utama dalam politik Islam politik yang secara logis seide dengan capaian filsafat moral manusia sebagai pengetahuan normatif yang membutuhkan medium pembadanan (embodying) dalam bentuk laku manusia dalam menjalani kehidupan sosial politik dan keagamaan secara komprehensif. (Muhammad Zakaria al-Naddaf, 2006).
Kekuasaan sebagai kajian politik dalam Islam bukanlah merupakan barang terlarang. Kekuasaan dalam politik dianjurkan selama tujuannya adalah untuk menjalankan amanat dan visi-visi kemalahatan umat. Tugas politik dalam pandangan Islam tersublimasi dengan baik, efektif dan konkret ketika disandingkan dengan kepemimpinan yang beretika dengan laku moral yang memadai dan islami. Karena politik dalam Islam dipandang sebagai bagian dari ibadah sehingga prinsip-prinsip keberlakuannya seyognya bernafaskan prinsip-prinsip ibadah. Di lain sisi, politik berkenaan dengan prinsip Islam dalam mengorganisasi, mengelola dan memanajemen masyarakat, karena itu, prinsip-prinsip relasi intersubyektif (hubungan antar-manusia) seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan kehendak menjadi keharusan dalam dunia politik.
Etika politik dalam perspektif Islam dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis dengan bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi masyarakat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih logis dan benar serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika politik dalam pandangan Islam juga mengamanatkan agar penyelenggaraan Negara mampu memberikan kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik dengan menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kepentingan kelompok lainnya untuk mencapai kemajuan berbangsa dan bernegara.
Menakar Kesejahteraan dan Kemaslahatan NTB Ku Kini
Kontestasi PILKADA serentak 2024 sudah dekat termasuk untuk Nusa Tenggara Barat. Teorema maslahat ummat, etika kontestasi politik yang santun dan bermartabat, politik yang memanusiakan harusnya menjadi visi untuk semua calon kontestan dan pertanyaan tertuju kepada seluruh bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dengan visi kemaslahatan ummat (publik atau rakyat), masyarakat NTB saja sedang menghadapi beragam soal yang menjadi public interest yang tidak hanya dalam makna perhatian masyarakat akan tetapi kepentingan masyarakat yang dasar pun belum sepenuhnya tersediakan dan terfasilitasi dengan baik dan memadai. Beberapa sampel dari kegelisahan diatas tergambar dalam hasil evaluasi RPJMD NTB 2019-2023 pada aspek kesejahteraan rakyat yang unsur-unsurnya adalah pertumbuhan ekonomi tanpa pertambangan bijih logam, inflasi, Gini Ratio, tingkat kemiskinan dan IPM masih minor dan belum sesuai target. Walapun pada aspek daya saing daerah memenuhi segala unsur dan melampaui target. Pada aspek-aspek lain seperti aspek pelayanan umum mulai pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat dan Kawasan pemukiman, aspek pangan dan aspek lingkungan hidup terutama neraca pengelolaan sampah, persentase pengelolaan sampah dan presentase pengurangan sampah masih belum sesuai target. Kesemua aspek tersebut disampaing predikat memenuhi target, on the track dan belum sesuai target akan tetapi angka prosentase IKU dan IKD menunjukkan angka ketidaktercapaian masih signifikan karena untuk capaian IKU 2022-2023 ada di angka 73% dan IKD tercapai 68% dengan 31,3 persen tidak tercapai. (RENSTRA BAPPEDA NTB 2024-2026).
Fokus tulisan ini tentu tidak pada data di atas (karena memang bukan kompetensi penulis), tetapi hanya ingin menunjukkan pada dunia NTB bahwa kondisi pembangunan riil di NTB masih pada titik itu. Rencana strategis masing-masing kontestan calon gubernur tentu juga berkutat pada ranah tersebut untuk mendesiminasi strategi dan langkah-langkah konkrit guna tercapainya target IKU dan IKD sampai batas maksimal pada masa kampanye dan debat publik. Karena sejatinya, kontestasi politik tidak hanya kontestasi yang menghadirkan konstruksi demokrasi prosedural yang sekedar menang-menangan dan kalah menang semata, akan tetapi ada ruang perjuangan dan pengadian yang lebih besar dengan pakem demokrasi subtantif yang berusaha mengadirkan tawaran solutif nan progresif dalam rangka menyejahterakan rakyat NTB dan meningkatkan kohesivitas sosial yang penuh ke-Saling-an.
Sampai hari ini, bahkan saat masa tenang akan berlangsung pada gemuruh Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur NTB, apa yang kita amati, rasakan dan alami mungkin masih terkesan sebatas demokrasi prosedural semata yang hanya menggambarkan besar-besaran masa pendukung dengan meriah dan ramainya setiap tahap kampanye. Akan tetapi terkadang melupakan aspek substantif dari ikhtiar politik yang seharusnya mencerdaskan, mendewasakan sekaligus pendidikan politik yang santun dan bermartabat dengan terus menjaga relasi yang berterima dan memanusiakan antar kontestan dan para pendukung dengan tidak saling menegasikan dan menafikan.
Tarekat Etika Politik yang maslahat? Mungkinkah?
Pada konteks berpolitik di Indonesia (termasuk politik daerah) dapat diperhatikan bahwa semenjak era reformasi yang membuka kran demokrasi dan kebebasan politik seluas-luasnya. Tampak jelas dan miris dimana para pegiat politik mempertontonkan kendornya (dekadensi?) etika politik dalam setiap jejak perjalanan suksesi demokrasi prosedural maupun demokrasi substantif. Sikap pragmatisme dalam laku politik yang individuatif dan atau mementingkan kelompoknya saja tanpa menghiraukan kepentingan kemaslahatan publik yang menjadi prioritas utama. Kondisi ini dalam praktik keseharian menggambarkan politik berwajah kuasa elitis daripada kekuasaan dengan wajah populis dan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Politik menjadi identik dengan strategi bagaimana kekuasaan diraih dan dengan cara apapun walaupun bertentangan dengan kesadaran etika politik dan pandangan umum.
Tanpa kita sadari, nilai etis politik cenderung mengarah pada kompetisi dan kontestasi yang mengabaikan moral. Ini terbukti dengan mengguritanya political shoping (pasar politik) karena semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang dan semua jabatan politik memiliki banderol (daftar harga) yang harus dibayar. Bangga menjadi Negara demokrasi yang damai terbesar akan tetapi fenomena politik yang menyeruak belakangan ini malah mengarah serta menohok pada arus balik yang condong mengotori demokrasi, nilai-nilai psedu-democracy (kepura-puraan demokrasi) yang dijadikan sebagai tarekat politik bagi kehidupan publik politik yang mengurangi dimensi etis.
Etika politik pada diskursus politik Islam mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika politik Islam sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama yang harusnya dicobakan dalam kontestasi dan suksesi PILGUB NTB 2024: Pertama, politik yang berdimensi Rabbani (berketuhanan) dalam tujuan, sarana dan aksi politik. Pada momentum Pilgub NTB 2024, aksi suksesi politik para pasangan calon Gubernur dalam Pilgub NTB seharusnya mampu menghadirkan dimensi robbani dalam kontestasi politik yang tidak semata-mata politik praktis dalam muka politik kepentingan dan pencitraan. Itu belum sampai pada tujuan suci politik yang berpihak pada rakyat, belum dengan infrastruktur politik yang berketuhanan dan berkemanusiaan karena sangat elitis dan belum juga memilih aksi politik yang bernilai ibadah dalam rangka sidqah (amal) pengabdian yang memberi ruang manfaat dan maslahat sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia dan umat. Kedua, laku politik manusiawi dan memanusiakan. Fakta politik pencitraan yang lebih mementingkan euphoria pesta demokrasi prosedural dan bukan demokrasi substantif pada kontestasi politik di level manapun. Upaya personifikasi diri kontestan dengan tidak apa adanya dengan penuh pencitraan merupakan karakter tidak baik bagi diri dan kemanusiaan, karena ciri manusiawi memenuhi fitrah manusia serta menuntunnya agar memanusiakan manusia dalam urusan publik politik yang tidak menjadikan rakyat atau masyarakat NTB sebagai obyek yang berpotensi dieksploitasi secara politis dengan menafikan kemaslahatan rakyat minimum pada kebutuhan-kebutuhan dasar hidup yang harus terpenuhi dan menjadi agenda utama dalam 5 tahunan kedepannya. Ketiga, etika politik Islam berdimesi universal. Dalam kontestasi menjelang Pilkada Gubernur NTB 2024 terlihat jelas keberpihakan politisi tidak banyak menyentuh dimensi terdalam relasi antara calon pemimpin dengan konstituen yang berdaulat. Para calon Gubernur dan calon Waki Gubernur lebih banyak mengorientasi visi politiknya hanya pada tujuan mendapatkan kekuasaan tanpa menyadari bahwa kebahagiaan hakiki politisi adalah kemampuan menebar maslahat dan berbagi atas nama cinta sesama. Karena ciri dimensi etika politik Islam universal ialah etika politik yang membawa misi kasih sayang kepada ummat manusia di seluruh dunia, menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan ketenangan. Keempat, karakteristik etika politik Islam yang berkeseimbangan. Ciri keseimbangan artinya mengajarkan bahwa manusia memprioritaskan kepentingan ukhrawi tanpa melupakan kepentingan duniawi begitu juga memenuhi keperluan rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani. Niat tulus politik harus muncul dari keseluruhan calon Gubernur NTB 2024. Karena segala tujuan, sarana dan aksi politik seyogyanya berorientasi pada bagiamana membangun keseimbangan antara kepentingan politik dengan nilai etis dari politik yang melahirkan kepuasan dan kebahagiaan yang pada ujungnya menjadi seni mengabadikan diri untuk selalu diingat dan didoakan bila waktu berakhir. Kelima, karakteristik realistis. Ciri realistis dalam etika politik Islam adalah memperhatikan kenyataan hidup manusia. Pilkada Gubernur NTB 2024 yang akan digelar menghendaki kontestan Cagub dan Cawagub yang berpihak pada realitas sosial, ekonomi, budaya dan seluruh sendi kehidupan publik politik masyarakat dan konstituen. Bagaimana tidak, bila kesadaran melek kenyataan hidup tidak dimiliki oleh masing-masing bakal calon Gubernur NTB maka yang terjadi adalah kepura-puraan politik dan demokrasi yang bisa jadi sebatas aksi politik teoritis dan berada di menara gading tanpa ada kemampuan para calon untuk menurunkannya menjadi fenomena politik dan kebutuhan publik politik yang memang membutuhkan aksi-aksi nyata dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, memakmurkan rakyat NTB yang berdaya saing progresif dan pada akhirnya menjadi tarekat (jalan) politik yang husnul khotimah yang selalu ada di hati rakyat NTB yang berdaulat.
Wallohu a’lam.
Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.